Menghabiskan Jatah Gagal

Oktober ini menjadi bulan yang cukup berat untukku.

Bulan di mana aku belajar banyak tentang kepercayaan, keikhlasan, dan cara menerima kenyataan yang tak selalu sesuai dengan harapan.

Semuanya bermula ketika seorang dosen mengajakku ikut dalam sebuah penelitian.
Beliau mengatakan bahwa aku akan dimasukkan sebagai author kedua di jurnal internasional (Scopus) dan akan mendapat sedikit fee sebagai bentuk apresiasi.
Tanpa pikir panjang, aku pun menerima tawaran itu.
Kupikir, ini kesempatan emas — untuk belajar, menambah pengalaman, dan mengenal dunia penelitian lebih dalam.

Namun, ternyata realitanya jauh dari yang kubayangkan.
Suatu hari, dosen tersebut memberiku tugas melalui asistennya.
Dan saat itulah aku mulai menyadari sesuatu yang tak beres.
Ternyata, aku bukan sedang diajak meneliti…
melainkan diminta menjadi joki skripsi mahasiswa lain.

Awalnya aku mencoba berpikir positif.
Barangkali dosenku hanya ingin mengetes kemampuanku, atau melibatkanku dalam proyek kecil sebagai latihan.
Tapi semakin lama, semakin jelas arah sebenarnya.

Karena beliau juga mengajar di salah satu mata kuliahku, aku merasa tidak enak untuk menolak.
Akhirnya, aku tetap berusaha menyelesaikan tugas itu dengan sungguh-sungguh — bahkan sampai mataku perih di depan laptop, di tengah jadwal UTS yang begitu padat.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bagian dari proses belajar, bahwa aku sedang berbuat baik.

Setelah hasilnya kukirim, asistennya memintaku mengirim file Word. Aku pun memberikannya, tanpa curiga, tanpa pikir panjang.
Beberapa waktu kemudian, aku kembali diminta mengerjakan skripsi lain.
Kali ini aku menolak — dengan alasan ingin fokus belajar dan menyelesaikan urusanku sendiri.

Tak lama setelah itu, dosennya sendiri yang menghubungiku.
Saat itu, rasa kecewa dan lelah bercampur jadi satu.
Bukan karena aku tidak mendapat fee,
tapi karena aku sadar telah dimanfaatkan atas dasar kepercayaanku sendiri.

Namun di balik semua itu, aku bersyukur.
Dari peristiwa ini, aku belajar banyak:
untuk tidak mudah percaya,
untuk lebih berhati-hati,
dan untuk berani berkata tidak pada hal yang tidak sesuai dengan nilai dan prinsipku.

Mungkin inilah cara Allah menegurku —
lembut, tapi penuh makna.

Kini aku paham, tidak semua tawaran yang tampak baik benar-benar membawa kebaikan.
Kadang, Allah menjauhkan kita dari sesuatu bukan karena kita tidak mampu,
tetapi karena Dia sedang melindungi kita.

Oktober ini mungkin penuh dengan kegagalan,
namun justru dari sanalah aku belajar banyak hal:
tentang kejujuran, tentang keberanian, dan tentang cara Allah menunjukkan kasih sayang-Nya —
melalui pengalaman yang membuatku lebih kuat, lebih sadar, dan lebih bijak dalam melangkah.

😭😌🙏
Alhamdulillah, jatah gagal bulan ini sudah habis —
dan semoga yang datang setelah ini adalah jatah berhasil yang penuh keberkahan. 

Komentar